Minggu, 23 Juni 2013

PERLINDUNGAN KONSUMEN



Perlindungan konsumen di Indonesia masih termasuk relatif baru, mengingat semenjak Indonesia belum merdeka sudah pasti setiap harinya terjadi transaksi-transaksi oleh dan antara pelaku usaha dan konsumen.
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
  • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
  • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
  • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
  • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
  • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
  • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

sejarah terbentuknya hukum perlindungan konsumen:

Awal terbentuknya Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disepakati oleh DPR pada (tanggal 30 Maret 1999) dan disahkan Presiden RI pada tanggal 20 April 1999 (LN No. 42 Tahun 1999). Berbagai usaha dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak telag dijalankan berbagai pihak yang berkaitn dengan pembentukan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat. YLKI, bersama-sama dengan perguruan-perguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian naskah akademik Rancangan Undang-Undang (Perlindungan Konsumen). Kegiatan-kegiatan tersebut dimulai antara lain:
a. pembahasan masalah Perlindungan Konsumen (dari sudut ekonomi oleh Bakir Hasan dan dari sudut hukum ooleh Az. Nasution) dalam Seminar Kelima Pusat Study Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Indonesia (tanggal 15-16 Desember 1975) sampai dengan penyelesaian akhir Undang-Undang ini pada tanggal 20 April 1999.
b. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (tahun 1979-1980).
c. BPHN – Departemen Kehakiman, Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1980-1981).
d. Yayasan Lwmbaga Konsumen Indonesia, Perlindunga Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (tahun 1981).
e. Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlidungan Konsumen (tahun 1997).
f. DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-Undang Perlindunga Konsumen (tahun 1998).
Selain pembahasan-pembahasan di atas, masih terdapatberbagai lokakarya-lokakarya, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar di dalam dan luar negeri berkenaan dengan perlindungan atau tentang produk konsumen tertentu dari dari berbagai aspeknya. Tidak pula dapat dilupakan berbagai kegiatan perlindungan konsumen, dengan “pahit manisnya” reaksi masyarakat, kalangan pelaku usaha dan pemerintah, yang dijalankan YLKI dihampir seluruh Indonesia. Salah satu pokok kesimpulan seminar Kelima Universitas Indonesia tersebut berbunyi “Agaknya dalam kerangka ini mutlak perlu suatu Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan seharusnya Undang-Undang ini memberikann perlindungan pada masyarakat konsumen.” Akhirnya, didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut berujung disetujuinya UU Tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal dan mulai berlaku efektif sejak 20 April 2000. Ternyata dibutuhkan waktu 25 tahun sejak gagasan awal hingga Undang-Undang ini dikumandangkan (1975-2000).

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara

ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

A.    Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
·         Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.

·         Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.

·         Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.

·         Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

·         Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

B.     Tujuan perlindungan konsumen

Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.

·         Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·         mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
·         Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
·         Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·         Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
·         Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·         Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
·         Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
·         Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
·         Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
·         Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
B.     Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
         Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
         Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
         Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
         Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.



HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.      hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.      hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.      beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.      memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.      memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.      menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.      memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.      memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.      memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.      larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
·         tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·         tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·         tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·         tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·         tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
·         tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
·         tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
·         tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
v  Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
v   Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
v  Bekas: sudah pernah dipakai.
v  Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
·         barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
·         cacat barang timbul pada kemudian hari;
·         cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
·         kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
·         lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata :                                                                               
·         Ganti rugi dalam bentuk :
·         Pengembalian uang atau
·         Penggantian barang atau
·         Perawatan kesehatan, dan/atau
·         Pemberian santunan
·         Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
·         Kurungan :
·         Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
·         Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
·         Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
·         Hukuman tambahan , antara lain :
·         Pengumuman keputusan Hakim
·         Pencabuttan izin usaha;
·         Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
·         Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
·         Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .

Sumber:
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Indonesia
·         http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=33